top of page
Search

Menggugat Nasionalisme Kaum Muda Masa Kini

Writer's picture: Dadang SolihinDadang Solihin

Pidato Rektor Unsada

Dr. H. Dadang Solihin, SE, MA

Pada Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke 88, 28 Oktober 2016

Assalamualaikum Wr Wb

Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua

Para peserta upacara, sivitas academica Universitas Darma Persada, khususnya para pemuda dan pemudi yang saya cintai.

Tidak ada yang bisa menyangsikan betapa besarnya peran pemuda dalam perjalanan bangsa ini. Pemuda selalu tampil dan memainkan peran vital, mulai dari proses prakemerdekaan, kemerdekaan, munculnya Orde Baru hingga lahirnya Reformasi. Sejarah telah mencatat, kaum muda selalu menjadi garda terdepan dalam setiap babakan perubahan di negeri ini.

Tidak terasa juga, salah satu tonggak sejarah yang pernah ditorehkan kaum muda di negeri ini ternyata sudah berlalu 88 tahun. Tonggak itu kita kenal sebagai peristiwa Sumpah Pemuda. Inilah ikrar yang digaungkan kaum muda untuk menampilkan identitas kebangsaan yang satu bernama Indonesia. Kita kemudian mengenalnya dalam rumusan 1) Bertanah Air Satu Tanah Air Indonesia; 2) Berbangsa Satu Bangsa Indonesia; 3) Berbahasa Satu Bahasa Indonesia. Inilah semangat dari nasionalisme dan kebangsaan kaum muda dalam melahirkan bangsa yang besar bernama Indonesia.

Lalu mengapa perlu mencantumkan kata ‘besar’ pada negara Indonesia? Sepatutnya negeri ini untuk masuk ke dalam kelompok negara besar. Setidaknya rujukan itu dapat berkaca pada populasi penduduk. Hingga pertengahan tahun ini, populasi penduduk Indonesia ditaksir telah mencapai 258 juta jiwa. Jumlah tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara berpenduduk terpadat nomor empat di dunia.

Dari total populasi itu, merujuk data dari laman CIA.gov, median age dari penduduk Indonesia ini berusia 29,9 tahun. Artinya, inilah cerminan rata-rata usia penduduk Indonesia pada masa sekarang. Lantas jika menengok struktur usia, sekitar 59% dari total penduduk Indonesia adalah penduduk berusia antara 15-54 tahun. Kelompok usia ini merupakan usia produktif yang tentunya menyimpan semangat muda untuk membawa negeri ini menjadi lebih baik ke depan.

Di balik potensi populasi tadi, ternyata kaum muda masa kini dihadapkan pada tantangan yang berbeda dengan para pemuda masa lalu. Masa kini, tantangan terbesar kaum muda adalah globalisation borderless, globalisasi tanpa batas negara. Ancaman terbesar dari hadirnya globalisation borderless ini terdapat sektor ekonomi dan informasi. Inilah yang sepatutnya menjadi bahan refleksi untuk mempertanyakan sejauh manakah kaum muda Indonesia mampu merespons tantangan zaman tersebut?

Ketika ekonomi dan informasi sudah tak lagi tersekat dalam batas-batas teritorial bernama negara, di sanalah sesungguhnya muncul ancaman terbesar bagi kaum muda yang menjadi mayoritas penduduk di negeri ini. Apakah kaum muda Indonesia masih bersemangat menjaga nasionalisme agar tak luntur saat arus informasi luar kian menderas dan produk impor semakin tak terbendung?

Dalam memaknai nasionalisme, tentunya kita tidak bisa lagi menerjemahkannya secara sempit atau hanya sekedar menduplikasi semangat kaum muda pada 88 tahun silam. Seiring terkikisnya sekatan ekonomi dan informasi antarnegara tadi, disinilah urgensi untuk memaknai nilai nasionalisme itu menjadi semakin meluas. Nasionalisme pada masa kini, sepatutnya dipandang bagaimana kaum muda negeri ini bisa berjiwa kreatif, mandiri, dan berwirausaha.

Inilah tantangan terbesar untuk menciptakan kaum muda yang kompetitif di tengah era global seperti sekarang. Untuk melakukannya, tentunya kaum muda harus memiliki kesiapan yang baik. Kesiapan tersebut tentu saja harus berlandaskan pada aspek keilmuan, ketrampilan, dan kepercayaan diri.

Pada aspek keilmuan, bangsa ini sepertinya masih harus bekerja lebih keras untuk memperbaiki kualitas pendidikannya. Setidaknya, berdasarkan Survei UNESCO pada 2015, Indonesia sempat dilaporkan menempati posisi terendah terhadap kualitas pendidikan di negara-negara berkembang di Asia-Pasifik. Tepatnya berada pada peringkat 10 dari 14 negara. Persoalan ini masih menjadi PR besar bagi para pendidik maupun institusi pendidikan untuk meciptakan pendidikan berkualitas di negeri ini.

Sementara dalam hal ketrampilan dan kepercayaan diri, upaya untuk mengasah kemampuan ini bisa dilihat pada model pendidikan yang dikemas di Unit Kegiatan Resimen Mahasiswa (Menwa). Melalui semboyan Widya Çastrena Dharma Siddha, para pemuda -- dalam hal ini para mahasiswa -- ditempa untuk menyempurnakan pengabdian dirinya melalui ilmu pengetahuan dan ilmu keprajuritan. Ilmu keprajuritan di sini sangat berkaitan erat dengan jiwa keperwiraan, keksatriaan, serta kepemimpinan. Inilah yang sesungguhnya menjadi modal berharga untuk menghadapi persaingan global pada masa kini.

Ketika tuntutan menguasai ekonomi dan informasi menjadi hal mutlak, sudah sepatutnya mendorong kaum muda untuk merebutnya, bukan mengacuhkannya. Tentu saja, usaha untuk hal tersebut harus ditanamkan melalui upaya menuntut ilmu. Tesisnya, dengan semakin berilmu maka bakal meningkat juga daya saing SDMnya. Lalu tak boleh dilupakan juga, semua pihak beserta pemerintah harus terus mendorong kaum muda negeri ini untuk dapat menumbuhkan jiwa-jiwa kreatif enterpreuner.

Saat kaum muda itu kreatif, berwawasan keilmuan serta berjiwa pemimpin, hal itulah yang sebenarnya dibutuhkan dalam jawaban tantangan ekonomi dan informasi yang sudah tak lagi mengenal batas negara. Di sanalah nasionalisme itu terselip dalam jiwa muda yang selalu bergolak. Generasi muda masa kini harus memiliki semangat nasionalisme semacam itu untuk menjawab tantangan zaman.

Demikian yang dapat saya sampaikan pada peringatan hari sumpah Pemuda ini, tetaplah SEMANGAT, junjung tinggi tanah air dan tumpah darah kita, bangsa kita, dan bahasa kita.

Wabillahi taufiq wal hidayah.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

2 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page